Monday, May 4, 2009

Fenomena Flu

Sehat itu amat mahal. Oleh karena itu, setiap manusia selalu berusaha menjaga kesehatan dan lingkungan hidupnya agar jauh dari ancaman penyakit. Namun, setiap manusia juga memiliki daya tahan tubuh terhadap penyakit yang berbeda-beda.

Selain itu, keganasan sumber penyakit yang diakibatkan oleh mikroba (bakteri dan virus) sangat didukung oleh lingkungan sekitar. Ironisnya, dunia saat ini telah dipenuhi berbagai macam bentuk pencemaran dan perusakan lingkungan yang berdampak pada perubahan ekosistem kehidupan yang cukup signifikan.
Hal itu memicu mutasi atau perubahan gen dari mikroba pembawa penyebab penyakit tersebut sehingga mereka lebih tahan dalam menghadapi perubahan kondisi lingkungan yang ekstrem. Mutasi tersebut yang menimbulkan penyebaran penyakit menular yang pernah muncul (emerging diseases) kemudian timbul kembali (re-emerging diseases) dalam bentuk dan keganasan yang lebih tangguh.
Dengan demikian, tidaklah mengherankan apabila terjadi perluasan wilayah serangan sumber penyakit dari yang sebelumnya antara hewan dengan hewan sejenis, atau berbeda jenis. Parahnya lagi, dari hewan menjalar dan menular ke manusia atau yang disebut zoonosis, di mana hewan sebagai media pembawa penyakit tersebut.
Beberapa penyakit yang bersifat zoonosis telah muncul di Indonesia dan sangat menggemparkan semua pihak, terutama yang terkena dampak langsung adalah peternak lokal dan otoritas kedokteran hewan (veterinary authority).
Penyakit zoonosis yang saat ini tengah menjadi tantangan bagi pemerintah Indonesia seperti PMK (penyakit mulut dan kuku) pada sapi dan hewan berkuku genap lainnya, influenza burung pada unggas, serta yang tiba-tiba meruak ke permukaan adalah influenza babi, di mana babi sebagai media pembawa virus. Penyakit tersebut sangat meresahkan masyarakat dan seolah menjadi ancaman kebangkrutan bagi peternak lokal dan kematian pada manusia.
Penamaan virus babi ini mendapat kritik karena dinilai salah kaprah dan bisa menghancurkan industri daging babi. Padahal, jika ditelusuri dalam hal ini virus influenza burung dan influenza babi adalah sejenis virus influenza yang juga biasa menyerang manusia. Jadi, virus ini lazimnya disebut sebagai flu meksiko, karena memang ditemukan dan korban yang telah meninggal ada di Meksiko.
Fenomena flu babi yang baru muncul di Indonesia sejak seminggu yang lalu sebenarnya sudah ada sejak 1918 di Eropa. Awalnya berupa pandemi influenza 1918 yang disebut influenza (flu) spanyol yang membawa kematian 40 juta jiwa manusia di seluruh dunia.
Virus tersebut bernama orthomexoviridey tipe A subtipe H1N1 yang dijumpai pada manusia, yang bersamaan waktu juga dijumpai pada babi yang disebut dengan influenza (flu) babi. Pada babi virus tersebut dapat ditularkan juga pada babi lainnya dan hingga saat ini masih dijumpai pada hewan tersebut, tetapi tidak mematikan.
Sedangkan pada saat itu virus H1N1 pada manusia mengakibatkan kematian, sementara flu pada manusia saat ini telah berkembang tidak hanya subtipe H1N1, melainkan H3N2 dan H2N2 yang berasal dari pandemi influenza 1957 atau yang disebut flu asia. Subtipe H3N2 berasal dari pandemi influenza 1998 yang disebut dengan flu hong kong.
Dokter sekaligus Dokter Hewan Mangku Sitepu menekankan virus flu tipe A subtipe H1N1, H3N2, dan H2N2 yang disebut dengan flu biasa memang dijumpai di Indonesia dan negara dengan iklim temperate atau tropis lainnya. “Di negara tropis seperti Indonesia flu babi itu tidak mematikan, tetapi kalau di AS dan Eropa bisa mematikan,” ujarnya.

Menurut Mangku, flu babi di Meksiko yang diduga telah membawa kematian sebanyak 60 orang dari 1.000 orang yang terinfeksi virus tersebut bukan berasal dari babi, melainkan dari manusia. Meskipun awalnya merupakan proses penularan dari babi ke manusia (zoonosis), tetapi telah mengalami mutasi sehingga saat ini menular dari manusia ke manusia.
Mutasi tersebut dapat disebabkan lingkungan serta pemberian obat yang tidak tepat dosis. Mangku menegaskan mutasi virus di tubuh manusia tersebut merupakan hasil kombinasi virus yang berasal dari manusia, babi dan flu burung yang hanya ditularkan dari manusia ke manusia dan dapat diobati dengan antibiotik.

Tidak Ada di Indonesia
Mangku menekankan di Indonesia tidak ada flu babi baik pada peternakan babi maupun pada manusia. Penyakit tersebut juga tidak tertular melalui daging atau makanan, tetapi pernapasan. Namun, pemerintah dalam hal ini Departemen Pertanian (Deptan) harus terus melakukan penjagaan terhadap masuknya daging babi asal Meksiko yang dapat menyebabkan tertularnya flu babi ke peternakan babi di dalam negeri.
Di samping itu, Kedutaan Besar Indonesia di Meksiko harus mengeluarkan sertifikat kesehatan bebas dari virus flu babi bagi warga Meksiko yang ingin berkunjung ke Indonesia. Hal tersebut mutlak diperlukan karena virus flu babi hingga saat ini tidak ditemukan di Indonesia.
Selain Meksiko, ia mencatat wabah flu babi juga telah menyerang di AS. Sebanyak 75 orang di New York terjangkit penyakit tersebut, serta di Selandia Baru.
Sekjen Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), Teguh Boediyana, menekankan pentingnya pemerintah lebih mengoptimalkan peranan dokter hewan di Indonesia. Hal itu, sambungnya, sebab profesi tersebut yang memiliki otoritas dalam mengeluarkan langkah-langkah mencegah flu babi maupun penyakit lainnya yang bersifat menular pada manusia (zoonosis).

Belum Divaksin
Sementara itu, Pelaksana Harian Direktur Kesehatan Hewan Ditjen Peternakan Departemen Pertanian (Deptan) Agus Wiyono mengatakan belum akan menginstruksikan vaksinasi terhadap peternakan babi di Indonesia. Hal tersebut disebabkan wabah flu babi masih beredar pada manusia di negeri asal virus tersebut yaitu Meksiko dan Amerika Serikat.
“Di AS dan Meksiko, virus flu babi jenis H1N1 belum ke babi sehingga di sana pun belum dilakukan pada peternakan babi,” ujarnya.
Agus mencatat populasi ternak babi di Indonesia sebanyak 7,5 juta ekor, yang terbanyak di NTT 1,6 juta, Bali 900.000, Kalimantan Barat 876.000, Sumatera Utara 760.000, Sulawesi Utara 530.000, Papua 510.000 dan daerah lainnya, 2,2 juta ekor. Menurutnya sejauh ini Deptan baru akan melakukan surveillance pengawasan dan diagnosis terhadap peternakan babi di Indonesia.
Dirjen Peternakan Tjeppy Soedjana mengatakan bahwa sebanyak Rp 40 miliar anggaran yang dialokasikan untuk penanggulangan flu burung akan diminta dan dialihkan untuk antisipasi pengendalian wabah flu babi di Indonesia. Sebesar Rp 1 miliar akan dialokasikan untuk kegiatan surveillance. Daftar isi pengajuan anggaran (DIPA) tersebut saat ini masih tertahan di Menko Kesra. “Saat ini Deptan belum mengetahui berapa alokasi dari Rp 40 miliar tersebut yang akan dialihkan untuk antisipasi flu babi,” ungkapnya.
Namun, Deptan saat ini sedang mengkaji sambil melakukan pengawasan, survei dan diagnosis di beberapa sentra peternakan babi seperti NTT, Bali, Kalbar, Sumut, Sulsel, Papua dan Batam yang dilakukan oleh balai besar veteriner bekerja sama dengan berbagai perguruan tinggi.
Di samping itu, Tjeppy menegaskan bahwa menteri pertanian telah menerbitkan surat keputusan menteri sebagai tindak lanjut dari surat edaran menteri perdagangan tentang penghentian sementara impor babi, produk-produk babi dan turunannya